ArtikelArtikel

Transformasi Kelas Ajar

Era guru sebagai sumber belajar nyaris berakhir. Bahkan peran guru sebagai fasilitator pembelajaran lambat laun juga akan ditanggalkan. Paradigma guru sebagai pengajar dan peserta didik sebagai subyek yang diajar merupakan cara pandang yang sudah terlalu usang. Pada permulaan dekade ketiga Abad ke-21 sekarang ini, pendidikan kita harus lebih berani untuk merumuskan kembali definisi terbaru tentang hakikat pembelajaran, tata kelola kelas ajar, dan konsepsi peran guru dalam konteks manajemen pembelajaran.

Babak baru pendidikan sudah mendesak untuk kita gelar. Kemendikbud dengan pimpinannya yang baru sudah memulainya dengan wacana merdeka belajar. Namun apakah kampanye ini sudah cukup kuat untuk menjawab semua isu pendidikan khususnya pada ranah reformasi persekolahan? Sama sekali tak ada jaminan bahwa kebijakan ini mampu menyelesaikan beragam kompleksitas yang ada dalam sistem pendidikan nasional kita. Jangan sampai gegap gempita kebijakan merdeka belajar ini kemudian malah berakhir antiklimaks sebagaimana nasib Pendidikan Karakter dan Gerakan Literasi Sekolah. Di awal kemunculannya pada tahun 2011 dan 2015, dua kebijakan ini seakan-akan membawa harapan baru bagi perbaikan pendidikan di Indonesia. Namun kemudian keduanya justru menjadi layu sebelum bisa berkembang, alias gagal!

Jika kita gagap atau ragu-ragu untuk melakukan lompatan besar dari sekarang, pendidikan kita bukan hanya akan tertinggal dari negara-negara tetangga, semisal Thailand atau Vietnam, namun dikhawatirkan juga akan kepayahan memanfaatkan bonus demografi yang berakhir di tahun 2030 nanti. Padahal bonus demografi cuma berlangsung sekali ini saja. Jika tidak dimanfaatkan dengan benar, generasi persekolahan hari ini terancam tidak akan mampu membawa negeri ini untuk keluar dari krisis minus demografi yang diprakirakan mungkin bisa terjadi bersamaan dengan perayaan besar 100 tahun Indonesia Emas, 2045.

Desakan perubahan ini bukan latah atas euforia Industri 4.0 yang tengah ramai diperbincangkan. Upaya perbaikan pendidikan lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan dunia industri. Gerakan perubahan ini tak lain merupakan cara kita untuk menjaga misi hakiki pendidikan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab agar tak gampang lekang di tengah arus pergeseran zaman.

Internet untuk semua hal (IoT), teknologi finansial, prospek usaha rintisan, purwarupa 5G, teknik otomasi, serta pengembangan kecerdasan buatan hanyalah fenomena tampak luar yang sama sekali belum menggambarkan secara utuh dunia yang sedang bergerak cepat. Sampai-sampai tidak ada satupun lembaga, negara, atau tokoh di dunia ini yang bisa memperkirakan kemana zaman ini akan bergerak. Justru yang kita perlu waspadai adalah gejala pergeseran nilai-nilai kemanusiaan yang goyah akibat semakin melebarnya ketimpangan pengetahuan di masyarakat.

Dalam kondisi seperti ini, jelas tak mungkin bagi para guru terus merasa bisa berperan sebagai sumber belajar bagi anak-anak didiknya. Sedangkan sumber belajar tersedia luas tanpa dihalangi oleh batasan ruang dan waktu. Semua informasi pengetahuan semakin mudah diakses hanya dengan sentuhan jari bahkan dengan perintah suara. Bapak Ibu guru juga tidak perlu repot-repot lagi untuk memainkan fungsi sebagai fasilitator pembelajaran. Peran ini sudah bisa diserahkan kepada setiap siswa secara bergantian. Konsepsi merdeka belajar semestinya bisa berangkat dari pandangan ini. Generasi hari ini tentu jauh lebih faham dari guru dan orang tuanya tentang jiwa zamannya sendiri. Pengalihan wewenangan dari guru kepada setiap siswa sebagai fasilitator pembelajaran adalah bentuk penguatan tanggung jawab agar peserta didik mampu mengelola kesadaran kritis sebagai bagian penting dari subjek perubahan di dalam masyarakat.

Para siswa sudah saatnya diberi porsi lebih besar dalam menentukan, merencanakan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi sendiri apa yang hendak mereka kuasai secara merdeka. Konten materi ajar tidak semata-mata dipelajari untuk mengejar ketuntasan kompetensi lewat soal-soal ujian. Pembelajaran di sekolah harus bisa menyentuh hingga aras pembentukan kepribadian kokoh yang cakap menyelesaikan beragam permasalahan di kehidupan nyata. Inilah kompetensi yang sesungguhnya. Sebagaimana kembali kepada hakekat pendidikan, pembelajaran di masa kini dan masa depan harus tetap berorientasi pada upaya memanusiakan manusia sebagai makhluk paripurna. Lalu, peran apa yang semestinya bisa guru lakukan mulai dari sekarang?

Inovasi digital dan perkembangan teknologi otomasi konon akan menghilangkan banyak profesi, namun di sisi lain justru akan memunculkan banyak varian baru pekerjaan di masa depan. Tapi tidak dengan profesi keguruan. Profesi guru diyakini tidak akan hilang walau sudah ada mesin pencari informasi yang semakin bergenre semantik seperti halnya kita bertanya kepada para pakar. Mesin semacam ini boleh saja semakin pintar, tapi keberadaan guru tidak mungkin bisa memudar. Kenapa? Sebab guru bukan sekedar pekerjaan untuk mengajar, namun utamanya adalah mendidik, memanusiakan manusia.

Pendidikan membutuhkan ruh hidup yang mampu memberi keteladanan dan juga kasih sayang dalam misi besar pengasuhan. Ruh itu tentu bernama guru. Ruh ini yang tidak mungkin bisa digantikan oleh apapun, terlebih oleh sekedar mesin. Pendidikan sebagai proses pembudayaan membutuhkan figur yang mampu mewarisi nilai-nilai luhur kemanusiaan langsung dari dalam dirinya. Maka sampai kapanpun, pada zaman apapun, guru harus membekali diri dengan integritas yang kuat.

Memulai Transformasi

Dalam mewujudkan lompatan besar pendidikan, perlu ada kemauan serta kemampuan untuk melakukan transformasi kelas ajar yang mengubah banyak pola interaksi antarelemen pembelajaran. Relasi guru dan murid tidak cukup hanya berpindah dari pendekatan monologis menuju dialogis, namun juga mesti kolaboratif. Pendidik beserta seluruh peserta didiknya harus terbiasa bekerjasama dan sama-sama belajar dalam kedudukan yang sama.

Pengetahuan sebagai konten pelajaran sudah tidak bisa dimonopoli lagi oleh para pendidik. Di era keterbukaan informasi, tidak mesti guru yang bisa terlebih dahulu menguasai konten pengetahuan yang terbarukan. Murid-murid dari generasi “Google Kids” memiliki kecepatan luar biasa dalam mencari, mengolah, bahkan mempublikasi suatu informasi. Akibatnya guru memang tidak saja kalah oleh mesin pintar, tapi niscaya juga telah dipecundangi oleh anak-anak didiknya sendiri.

Dalam konteks transformasi kelas ajar, diperlukan rekonsepsi peran guru pada ruang-ruang pembelajaran yang terbarukan. Pendidik di era transformasi kelas ajar harus mampu mewujudkan ekosistem pembelajaran yang otentik. Interaksi antara, pendidik, peserta didik, dan juga sumber belajar, sebagai tiga prasyarat dasar terjadinya pembelajaran, harus diwujudkan pada locus yang tidak hanya terbatas di ruangan kelas. Ruang-ruang baru pembelajaran bisa dikembangkan pada spektrum yang menjangkau semua sumber belajar yang bisa dipelajari siswa secara langsung dan nyata. Ruang baru pembelajaran bisa berbentuk proyek pemecahan masalah yang ada di lingkungan sekitar. Sehingga ruang kelas ke depannya tidak harus identik dengan bangunan ruang kelas sebagaimana yang kita fahami hari ini.

Ruang baru pembelajaran juga memerlukan penyegaran paradigma tata kelola kelas ajar yang disebut dengan manajemen kelas multiliterat. Pendekatan manajamen kelas yang baru ini terbentuk sebagai hasil sintesa dari penegakan adab, pemuliaan fitrah insani, penerapan manajemen pengetahuan, dan pencapaian kecakapan siswa berbasis pada proses. Sehingga paradigama lama yang menyatakan manajemen kelas adalah berisi aturan dan prosedur untuk membangun kesadaran kelas yang tertib sudah tidak lagi relevan. Manajemen kelas yang lawas gagal dalam mewujudkan iklim pendidikan persekolahan berbasis ekosistem.

Manajemen kelas multiliterat membutuhkan peran guru sebagai pemimpin bagi anak-anak didiknya. Ini adalah format guru di masa depan, setidaknya untuk satu dasawarsa ke depan. Guru tidak mungkin lagi menempatkan diri sebagai fasilitator pembelajaran, apalagi sebagai sumber belajar utama.

Saat ruang kelas ajar telah bertransformasi, tugas guru sebagai fasilitator yang diantaranya membuat atau menyiapkan media pembelajaran sudah tidak lagi efektif. Dalam format baru guru sebagai pemimpin dalam pembelajaran, segala sumber belajar bisa ditemukan atau diciptakan bersama-sama dengan murid-muridnya. Tugas guru pemimpin bukan membuat media pembelajaran, tapi bagaimana Bapak Ibu guru mampu merancang kelas-kelas ajar sebagai lingkungan bermedia.

Manajemen kelas multiliterat membutuhkan peran guru sebagai pemimpin bagi anak-anak didiknya. Ini adalah format guru di masa depan, setidaknya untuk satu dasawarsa ke depan. Bukan lagi sebagai fasilitator pembelajaran, apalagi sebagai sumber belajar utama.

Saat ruang kelas ajar telah bertransformasi, tugas guru sebagai fasilitator yang diantaranya membuat atau menyiapkan media pembelajaran sudah tidak lagi efektif. Dalam format baru guru sebagai pemimpin dalam pembelajaran, segala sumber belajar bisa ditemukan atau diciptakan bersama-sama dengan murid-muridnya. Tugas guru sebagai pemimpin bukan membuat media pembelajaran, tapi bagaimana Bapak Ibu guru mampu merancang kelas-kelas ajar sebagai lingkungan bermedia.

Peran guru sebagai pemimpin merupakan kunci penting bagi keberhasilan gerakan transformasi kelas ajar. Guru pemimpin tidak sama guru sebagai pimpinan alias bos. Guru pemimpin memiliki makna bahwa guru adalah figur berpengaruh dalam menghidupkan semangat peserta didik sebagai jiwa-jiwa pembelajar mandiri. Sebagai pemimpin, maka tugas guru adalah mendidik siswa-siswanya dengan nilai-nilai dan praktik-praktik kepemimpinan.

Jika disimpulkan, transformasi kelas ajar memang bukan pekerjaan mudah. Gerakan ini terkait erat dengan transformasi besar dari format guru hari ini sebagai fasilitator pembelajaran menjadi pemimpin dalam pembelajaran. Namun, membangun konstruk pendidikan baru bagaimanapun juga bukanlah perubahan yang bersifat instan. Ini harus menjadi gerakan yang serius, bukan pekerjaan main-main. Yuk bertransformasi menjadi guru pemimpin untuk anak-anak didik kita!

Oleh
Guru Agung
Master Teacher Sekolah Guru Indonesia dan GM Sekolah Kepemimpinan Bangsa Dompet Dhuafa

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel