Artikel

Serial Sepuluh Kepemimpinan Guru: Sahabat Terbaik Siswa

Serial
SEPULUH KEPEMIMPINAN GURU
Edisi Ramadhan, Hari Kedua

Kepemimpinan Guru yang Kedua:
SAHABAT TERBAIK SISWA

“Pendidik hendaknya mencintai pelajar sebagaimana mencintai dirinya… Pendidik hendaknya memperhatikan kemaslahatan pelajar dan bergaul dengan pelajar seolah-olah bergaul dengan anak kandungnya yang paling mulia, yaitu (bergaul dengan) sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, berbuat baik, bersabar atas kekasaran pelajar, kekurangan pelajar yang nyaris tidak bisa dihindari oleh setiap insan, serta buruknya tata krama pelajar pada suatu waktu tertentu.”
(K.H. Hasyim Asy’ari, Adabul ‘Alim wal Muta’allim, 2017: 92)

Pengasuhan adalah intinya pendidikan, dan sikap welas asih adalah inti dari misi keguruan. Artinya, pendidikan akan kehilangan makna terdalamnya jika sosok guru kurang memiliki sikap yang welas asih. Penguasaan utuh atas pengetahuan yang menyangkut materi ajar (kompetensi profesional) disertai dengan kecakapan mengembangkan metodologi pembelajaran (kompetensi pedagogik) masih belum cukup untuk menjadi bekal buat para guru sebagai pendidik. Masih ada dua ruang kosong yang seringkali kita abaikan, yakni kompetensi sosial dan kepribadian.

Welas asih banyak terletak pada aspek kompetensi kepribadian, namun sikap ini juga mesti terwujud dalam kompetensi pedagogik dan sosial. Ini menandakan bahwa pola pengasuhan tidak bisa dijalankan secara parsial atau terpisah-pisah. Tentu kita semua sepakat bahwa menjadi guru tidak hanya sekedar mengajar, sebab sebagai pendidik bagaimanapun guru adalah orang tua siswa saat sedang belajar di sekolah.

Baik orang tua dalam keluarga maupun guru dalam aktivitas di sekolah sama-sama bertugas untuk mendidik dengan penuh kasih sayang. Zakiah Daradjat, dkk (2016: 78-79) menekankan perlu adanya jalinan kerjasama antara guru dengan orang tua. Banyak hal yang dapat didiskusikan tentang perkembangan, kemajuan, maupun kesulitan-kesulitan yang dialami, serta cara-cara mengatasi kondisi yang berkenaan dengan bakat atau kemampuan anaknya.

Zakiah Daradjat, dkk (2016: 5-6) menambahkan bahwa pendidikan, dari sisi bahasa Arabnya adalah “tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Sedang dalam bentuk kata bendanya, “rabba” ini juga kita gunakan untuk menyebut nama Tuhan. Sebab Allah SWT juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan mencipta. Ini membuktikan bahwa mendidik merupakan upaya pengasuhan dalam rangka menunaikan misi dakwah sebagai hamba Tuhan yang mulia.

Sikap welas asih harus ditunjukkan dengan kemurnian, penuh otentitas, bukan pencitraan, apalagi sebuah kepura-puraan. Welas asih adalah bahasa nurani, walau abstrak tidak terlihat, tetapi mudah untuk dirasakan. Welas asih seorang guru juga tercermin dari kemampuannya dalam mengidentifikasi karakteristik setiap peserta didiknya yang pastinya berbeda-beda. Tuhan memang menciptakan setiap manusia dalam keunikannya masing-masing. Inilah mengapa guru harus menjadi sahabat terbaik siswa.

Sebagai sahabat terbaik siswa, guru harus mampu mengembangkan desain pembelajaran dengan menggunakan pendekatan individual. Dari aspek pedagogik, seorang guru akan semakin mudah dalam merancang pembelajaran terbaik apabila pribadi anak itu telah dipahaminya benar-benar. Sehingga sedari awal guru harus mampu membuat pemetaan siswa di dalam kelas secara mendalam dan menyeluruh. Selain berguna untuk membantu menetapkan strategi pembelajaran yang tepat, pemetaan siswa ini juga bermanfaat untuk melakukan pengendalian yang cepat terhadap setiap resiko dan ancaman terhadap para siswa itu sendiri.

Duka perundungan yang masih sering mendera dunia pendidikan kita merupakan tanda-tanda mulai meluruhnya kekuatan kasih sayang dari kehidupan di sekolah, serta kian melemahnya pemetaan dan pengawasan pendidik terhadap para siswanya. Padahal satuan pendidikan sebagai pranata sosial yang memanusiakan manusia harus menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya peserta didik agar menjadi pribadi yang tidak hanya berpengetahuan, berdaya saing global, serta mampu berpikir kritis dan kreatif dalam rangka pemecahan masalah, namun harus pula terasah dalam mengelola kecerdasan spiritual, sosial, dan emosi.

Namun beragam perundungan yang kerap muncul di sekolah bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Segala yang terjadi di sekolah jugalah cerminan dari apa yang peserta didik dapatkan dari pengaruh kehidupan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Jika setiap anak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan juga sekolahnya, maka mereka pun akan belajar untuk berempati kepada sesamanya.

Jika merujuk pada pesan Kiai Haji Hasyim Asya’ari di awal tulisan ini, maka pendidikan harus dimulai dari rasa cinta. Tumbuhkanlah rasa cinta seperti mencintai dirinya sendiri, serta mencintai seperti anak kandungnya sendiri. Maka terwujudlah apa yang kita sebut dengan silih asah, silih asih, dan silih asuh; Yakni suatu interaksi untuk saling menajamkan pikiran, saling sayang menyayangi, dan saling memelihara.

Guru Agung,
GM Sekolah Kepemimpinan Bangsa DOMPET DHUAFA

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel