ArtikelArtikel

Serial Sepuluh Kepemimpinan Guru: Gemar Membaca Buku

Kepemimpinan Guru yang Keenam:
GEMAR MEMBACA BUKU

“Muhammad meletakkan akal pada tempat yang terhormat dan menjadikan akal itu sebagai salah satu alat mengetahui Tuhan… Bukalah Al-Quran halaman mana saja! Sudah pasti akan dirasa oleh tiap-tiap seseorang yang membacanya, betapa besarnya dorongan Islam untuk memakai akal dan mempergunakan pikiran sebagai salah satu nikmat Tuhan yang tidak ternilai harganya.”
(Mohammad Natsir, 2018: 135-137)

Guru sesungguhnya adalah jalan pengabdian para intelektual. Profesi yang mulia ini menjadi terhormat karena bekerja dalam ruang-ruang gagasan dan pengembangan pengetahuan yang menjaga serta mewariskan nilai-nilai kemanusiaan. Sejatinya tidak semua orang dapat mengemban misi suci ini, selain harus memenuhi persyaratan kompetensi tertentu, calon guru mestilah pribadi yang menjunjung marwah pendidik dengan akhlak terpuji dan kecintaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.

Terhormatnya profesi sebagai pendidik, sampai-sampai membuat Bung Karno menyebut para guru sebagai pemimpin dan rasul pembangunan. Dalam buku legendarisnya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, beliau bahkan menulis risalah khusus buat para guru. Menurutnya, kepemimpinan guru di sekolah merupakan pembentuk akal dan jiwa bagi anak-anak didiknya. Jika guru bukan orang yang cendekia, tidaklah mungkin akal dan jiwa anak bisa ditempanya.

Hakikat pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia sebagai makhluk yang sempurna harus distimulus oleh beragam aktivitas berpikir kritis dan juga kreatif. Sehingga para pendidik harus memiliki kapasitas yang “mumpuni” dalam menyusun pembelajaran yang efektif dan berdampak nyata terhadap peningkatan kualitas peserta didik yang dibinanya.

Sebagai cendekiawan, maka tugas guru paling utama adalah belajar, barulah kemudian bertugas untuk mengajar. Jika tak serius untuk belajar, niscaya guru tidak akan mampu untuk mengajar secara serius. Padahal pengajaran yang serius mula-mula harus ditopang oleh penguasaan guru secara utuh terhadap materi ajar dan juga terhadap metodologi tentang bagaimana cara mengajarkan materi tersebut. Jika tidak menguasai keduanya, dikhawatirkan hasil pengajaran yang diperoleh tidak akan membawa manfaat bagi peserta didik yang mengikuti kelas ajarnya.

Cara para guru untuk meningkatkan kapasitas intelektualitasnya sudah tentu dengan memperbanyak bacaan yang bergizi tinggi. Guru pemimpin adalah pribadi yang gemar membaca buku. Buku-buku adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan para intelektual. Tak salah jika kadar intelektulitas guru bisa diukur dari seberapa banyak buku yang dibaca dan juga dikoleksinya.

Cara guru bekerja tidak berjalan secara mekanis, namun dinamis. Pembelajaran harus dirancang dengan paradigma yang terbuka dan didukung oleh pengetahuan yang terbarukan. Pembelajaran semacam ini yang mampu untuk merangsang siswa agar senang belajar, gigih mencari tahu, serta siap untuk memecahkan permasalahan kehidupan. Pembelajaran semacam ini hanya bisa didesain oleh guru-guru yang memiliki referensi yang luas dan sudut pandang yang tidak kaku.

Perubahan besar dunia tentang cara manusia untuk hidup, berkomunikasi, berpikir, dan mencukupi kesejahteraan juga telah mendesak dipikirkannya kembali revolusi mendasar dalam hal pembelajaran, dunia persekolahan, dan paradigma pendidikan. Revolusi ini muncul agar dapat mengimbangi semakin membesarnya kekuatan revolusi informasi. Setiap satuan pendidikan pun dipaksa untuk mentransformasi fungsi pembelajaran di kelas ketika siswa semakin memiliki kemudahan untuk mengakses segala informasi terkait dengan pembelajaran dari internet (Dryden dan Vos, 2000: 19-21).

Transformasi budaya menuju Era Informasi di abad ke-21 menuntut penggagasan ulang soal cara belajar yang juga baru. Ruang kelas kreatif saat ini adalah tempat di mana semua orang belajar, termasuk guru. Kurikulum, kelas dan kegiatan harus dirancang yang akan melibatkan siswa dalam pemecahan masalah dan penemuan(Thoman dan Jolls 2003: 6-7).

Lagi-lagi, jika guru enggan untuk belajar, maka tidak akan banyak pula yang bisa diajarkan kepada para siswanya. Padahal di era industri yang semakin digital, niscaya guru tidak hanya dikalahkan oleh teknologi, namun yang lebih mengerikan, guru-guru akan juga mudah dilampui pengetahuan terbarunya oleh anak-anak ajaib pada dasawarsa yang ketiga dari abad ke-21. Merekalah anak-anak pemilik zaman ini, “Generasi Gugel” namanya.

Oleh:

Guru Agung

GM Sekolah Kepemimpinan Bangsa Dompet Dhuafa

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel