ArtikelArtikel

Serial Sepuluh Kepemimpinan Guru: Aktif Memberdaya Masyarakat

Kepemimpinan Guru yang Kesepuluh:
AKTIF MEMBERDAYA MASYARAKAT

“Di antara para produsen wujud-wujud simbolis, kaum intelektuallah yang paling depan dalam pembentukan sistem pengetahuan masyarakat. Barangkali adanya kaum literati selalu nampak dalam semua masyarakat.”
(Dr. Kuntowijoyo, 1999: 12)

Guru adalah bagian dari masyarakat. Ia mesti hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai figur teladan serta menjadi sumber rujukan dari segala nilai kebaikan. Guru bukan warga masyarakat biasa. Setelah sekolah, masyarakat adalah lingkup kedua dari lingkar kepemimpinannya. Dengan bekal kecendekiaan yang melekat pada dirinya, sosok guru menjadi penting untuk menjadi pemimpin dalam pemberdayaan masyarakat.

Selain kompetensi profesional, pedagogik, dan kepribadian; kompetensi sosial juga sangat penting untuk diperhatikan oleh setiap guru. Kompetensi sosial guru bukan hanya berada pada ranah organisasi profesinya, tapi yang besar adalah keberadaan dirinya sebagai tokoh masyarakat. Hal ini menandakan bahwa dimensi sosial profesi guru sebagai pendidik tidak hanya bagi anak-anak didiknya, namun juga warga masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Masyarakat dan sekolah semestinya bukan satuan sosial yang terpisah. Jangan sampai kurikulum di sekolah tercerabut dari kehidupan nyata masyarakatnya. Peran guru pemimpin dalam hubungan keduanya adalah sebagai jembatan pemersatu. Sekolah dan masyarakat adalah satu. Tentang hal ini, ada baiknya kisah lawas sekolah dari Roem Topatimasang dalam buku “Sekolah itu Candu” (2018: 63) menjadi suatu renungan:

“Tiap enam bulan adalah musim panen raya, panen jagung huma atau padi sawah. Ini berarti libur sepekan penuh. Sekolah tak punya lahan ladang atau sawah sendiri, tetapi bertugas mengerahkan dan mengatur murid-muridnya untuk disebar ke ladang dan sawah penduduk. Bagi hasil yang diperoleh sepenuhnya diperuntukkan bagi para murid itu sendiri. Adapun sekolah, hanya menerima penyisihan sebagian kecil dari hasil panen yang disumbangkan secara sukarela oleh setiap pemilik ladang atau sawah. Sumbangan inilah yang dijadikan bekal untuk acara rekreasi sekolah di hari libur terakhir.”

Betapa indah jika saja cuplikan dari kisah Sekolah Rakyat itu masih ada yang melakukannya hingga hari ini. Sekolah tidak boleh mencerabut kearifan lokal yang selama ini tumbuh dan berkembang di lingkungan sekitar. Sekolah harus menghargai nilai-nilai terpuji dengan menjadikannya sebagai sebuah pembiasaan. Kearifan lokal yang sesungguhnya menyimpan banyak kebijaksanaan yang berguna bagi proses pelestarian alam serta ketahanan masyarakat.
Tugas penting para guru sebagai pendidik adalah mencari titik temu antara karakteristik masyarakat di lingkungannya dengan tuntutan perkembangan zaman yang sulit untuk di masa depan. Sekolah bukan hanya sarana yang mengenalkan peserta didik dengan khasanah ilmu, pengetahuan, dan teknologi yang berasal dari luar. Pembelajaran yang dikelola guru di sekolah harus pula menggali sumber-sumber pengetahuan dan teknologi yang selama ini tumbuh di masyarakat. Peserta didik harus kenal dan bangga dengan tanah yang dipijaknya, serta langit yang menaunginya.
Setiap satuan pendidikan harus bisa menampilkan kearifan lokal masyarakatnya dalam kurikulum dan pembelajaran di kelas. Namun ini memang bukan kerja yang mudah. Kesulitan terbesarnya justru pada penemuan caranya, bukan pada menjalankan caranya. Setiap masyarakat pasti memiliki “local geniusnya” sendiri. Karakteristik sosial yang berbeda membuat kekhasan pendidikan di setiap sekolah tidak akan pernah sama.
Selain mengacu pada standar nasional pendidikan, para guru juga mesti merumuskan suplemen kurikulumnya sendiri, muatan ajar yang khas; dari, oleh, dan untuk kemajuan masyarakat dan sekolahnya. Inilah bagian inti dari peran guru pemimpin dalam memberdaya masyarakat.
Pendidikan memang bukan hanya tentang sekolah. Ki Hadjar Dewantara telah merumuskannya dalam konsep besar Tri Pusat Pendidikan. Pendidikan harus kian melekat pada seluruh aktivitas manusia, mulai dari lahir hingga hembusan nafas terakhir. Namun tidak berarti sekolah itu tidak penting. Justru sebaliknya, tidak bersekolah malah akan mengurangi sempurnanya pendidikan, yang juga berarti mengurangi sempurnanya kehidupan. Sebab pendidikan adalah tentang hakikat kehidupan itu sendiri.

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel