Kisah Inspiratif

Melanjutkan Mimpi Guru Maliki

“Dari segi apa kekurangan saya pak sehingga tidak di luluskan? Apa saja kriterianya bagi yang lulus? karena ketika wawancara tidak ada penilaian khusus yang menunjukkan keahlian hanya seputar pengalaman saja, mohon pencerahannya pak, terima kasih ”. Deretan kalimat protes akan keputusan ku tidak meluluskannya saat pengumuman peserta yang lulus untuk mengikuti SGI Master Teacher Angkatan XXVII terpampang jelas di layar Handphoneku, salah satu guru calon peserta SGI Master Teacher di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Aku terdiam sejenak, memikirkan langkah selanjutnya, merubah keputusanku atau tetap kependirianku tidak meluluskannya.

Stadium Generale yang merupakan kegiatan awal perkuliahan beberapa hari lagi akan dimulai, semua persiapan sudah mulai dilakukan. Semua calon peserta perkuliahan perdana Program SGI Master Teacher Angkatan XXVII sudah tidak sabar untuk memulai perkuliahan. Program pertama yang mengembangkan sepuluh kepimpinan guru Indonesia menjadi hal baru di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Tengah menjadi magnet tersendiri untuk guru-guru mengikuti program yang akan berjalan selama tiga bulan kedepan.

Akhirnya hari itu datang, Studium General yang dinanti-nantipun dimulai, antusiasme guru-guru yang luar biasa dan dukungan dari Dinas Pendidikan Hulu Sungai Utara membuat awal yang baru bagi pendidikan untuk Hulu Sungai Utara khususnya untuk guru-guru. Ada rasa bangga dan haru atas perjuangan pertama di daerah penempataku ini. Ketika acara masuk pada pembacaan tata tertib program sekaligus perkenalan masing-masing peserta, Guru Maliki menggemakan ruangan dan dengan lantang berteriak SGI, jargon yang memberikan makna dan nilai tersendiri bagi yang meneriakkan dan mendengarkannya. Seketika peserta lainnya spontan menjawab ”Bangga jadi guru, guru berkarakter, menggenggam indonesia.” Aku gemetar, ada rasa yang merasuk jiwa, ada rasa rindu dengan teman-teman seperjuangan yang sedang berjuang di daerah penempatan lain di pelosok Indonesia. Aku menatap Guru Maliki, tersenyum bangga kepadanya, pilihan ku tak salah, beliau adalah  sosok yang tak pantang menyerah.

Tepat sehari sebelum Stadium Generale dimulai, aku kembali menghubunginya. Keraguanku atas komitmennya untuk mengikuti perkuliah kutanyakan kembali. Aku pun bertanya ”Bagaimana dengan waktu pelaksanaan kegiatan? Apakah sanggup dengan segala konsekuensinya untuk tetap hadir tiap pekannya? Bagaimana kesibukan diluar sana?” Beliau menjawab dengan tegas, ” Sebenarnya untuk jadwal kegiatan sudah full tapi kan kami yang harus menyesuaikan dengan SGI bukan sebaliknya, itulah konsekuensinya yang harus saya hadapi“. Mendengar jawaban beliau, saya kaget dan salut hingga tanpa berpikir panjang lagi langsung meloloskan nama beliau sebagai peserta pengganti yang telah mengundurkan diri. Namanya Maliki, guru muda yang memiliki semangat tinggi untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalismenya dalam mengajar. Membahagiakan peserta didiknya dan memanjukan pendidikan di daerahnya menjadi mimpi Guru Maliki yang ia jaga dan terus perjuangkan.

Satu pekan berlalu, perkuliahan perdanapun dimulai, lagi dan lagi Guru Maliki  membangkitkan para peserta dengan aksi kreatifnya dalam memimpin guru-guru menghapalkan teori otak versi Edgar Dale. Namun ada yang aneh, kondisi beliau di siang hari, terlihat mudah lelah sehingga sesekali beliau membaringkan wajahnya diatas meja tapi ketika suasana riuh dan bersemangat beliau kembali bangkit. Sikap ini ditunjukkan berulang-ulang hingga perkuliahan berakhir. Pertanyaan terakhir kepada saya menjelang akhir perkuliahan,

“ Guru, apakah bisa  saya mengganti judul PTK yang telah dibuat ?

“ Sangat bisa guru” jawabku.

Tiga hari berlalu setelah perkuliahan pertama selesai, kami mendengar kabar di grup Whatsapp kalau Guru Maliki dilarikanke rumah sakit karena tersrang penyakit tipus.  Sontak saja aku kaget mendengarnya, akhirnya sorenya akupun menjenguk beliau dengan beberapa peserta SGI lainnya. Kondisi beliau sangat aneh, karena tiba-tiba tidak banyak bicara dan hanya menatap sesekali saja. Dititik ini aku jadi teringat dengan seorang guru SGI yang sedang mengikuti pelatiahn kala itu di Bogor dan membuatku cukup trauma. Kala itu Guru Ahmad dalam keadaan sehat ketika menerima materi, namun setelah mengikuti ice breaking dari pemateri beliau terjatuh dan merasakan teramat sakit di sekujur badannya. Beliau pun dilarikan ke rumah sakit terdekat dan divonis oleh dokter bahwa beliau mengidap penyakit stroke karena darah tingginya tiba-tiba naik. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit terkenal di Jakarta beliau selalu muntah. Ternyata obat yang diberikan melalui suntik tak kunjung membaik, justru semakin parah. Hingga beliau di rawat di ICU, sempat koma selama tiga hari tiga malam dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Selama perjalanan ke rumah sakit rujuakan, aku memangku tubuhnya dan terkadang aku selalu teringat dengan situasi saat itu.

Setelah kami pulang menjenguk, kondisi Guru Maliki menurun, tiga hari kemudian kami mendengar kabar lagi kalau beliau sering  kejang-kejang dan sudah lupa ingatan. Beliau sudah melupakan wajah dan nama-nama orang di sekitar kecuali ibuya sendiri. Akhirnya kami datang lagi untuk menjenguknya. Setelah memancing ingatan beliau tentang kami dengan mengajak ngobrol, ternyata hasilnya nihil. Kami semakin merasa sedih dengan keadaan beliau yang semakin lama semakin parah. Setelah berpamitan dengan ibunya, ternyata guru Maliki memanggil kami. Kami kembali masuk dan seolah-seolah Guru Maliki ingin memberikan informasi penting. Ketika masuk, beliau menunjuk tangannya ke arah kami  yang menandakan bahwa dia telah mengenal kami.  Salam yang diberikan pun dibalasnya secara perlahan. Dari situlah saya senang dan optimis akan perkembangan kesehatannya yang terus membaik.

Tapi itu hanya sebentar saja, keesokannya ternyata beliau semakin kritis dan dilarikan ke ruang ICU untuk ditangani lebih lanjut. Setelah ditangani ternyata tiba-tiba dokter memvonis beliau menderita penyakit Meningitis. Sebuah penyakit peradangan otak dengan sumsum tulang punggung. Kami pun hanya sebentar melihat kondisi beliau yang sedang tertidur pulas di ruang ICU. Selama dirawat disana kami senantiasa mendoakan kesehatan beliau agar Allah segera mencabut penyakitnya agar bisa bergabung lagi di perkuliahan SGI.  Namun Allah berkata lain, kabar duka itupun datang. Selama seminggu tak sadarkan diri akhirnya beliau pun menghembuskan nafas akhirnya setelah azan subuh berkumandang. Air mataku menetes bersama guru-guru yang lain, terisak penuh harap atas perjuangannya.

Waktu yang berakhir untuk Guru Maliki namun bukan waktu yang harus disesali karena perjuangan Guru Maliki terus mengalir melalui perjuangan guru-guru SGI Angkatan XXVII. Mimpi-mimpi Guru Maliki yang terus diwujudkan, mimpi-mimpi Guru Maliki untuk selalu membahagiakan anak didiknya menjadi motivasi . Akhirnya semenjak kepergian almarhum, peserta SGI di penempatanku semakin solid dan termotivasi untuk melanjutkan perjuangan beliau dalam memperbaiki pendidikan Indonesia.

Untuk Guru Maliki, kami yang akan melanjutkan mimpimu.

Untuk Guru Maliki, engkau boleh pergi namun perjuanganmu tak akan pernah mati.

Untuk Guru Maliki, Allah menyayangimu selalu.

Penulis :

Wahyu Mustofa A

Trainer Sekolah Guru Indonesia Penempatan Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

 

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Keteduhan Hati Fahri

Saya Guru Nurul, Aktivis Sekolah Guru Indonesia yang kini mengabdi di tanah Sumatera. Mendidik generasi ...