Artikel

Lika-Liku Refleksi dalam Pendidikan Moral

Mana yang harus didahulukan membela teman yang salah atau menegakkan kebenaran? Bolehkah menggali pengetahuan dengan mengorbankan individu? Dua pertanyaan ini mungkin bisa diajukan saat kita akan melakukan proses refleksi pendidikan moral pada peserta didik, Thomas Lickona dalam bukunya Educating For Character Bab 12 membahas tuntas bagaimana setiap elemen dalam pendidikan, terlebih tenaga pendidik untuk melakukan refleksi atas pendidikan moral yang ditransfer terhadap anak. Dalam banyak kasus, peserta didik minim pemahaman bahkan gagal dalam menginterpretasikan bagaimana peranan moral digunakan dalam kehidupan sehari-harinya, tentu hal ini tidak lepas dari kealfaan tenaga pendidik dalam memahamkan moral itu sendiri, sehingga gap pemahaman yang terjadi antara pendidik dan peserta didik bisa diminimalisir dengan cara proses refleksi pendidikan moral.
Hal krusial yang biasanya salah diterjemahkan oleh peserta didik mengenai moral ini adalah bagaimana peserta didik memaknai moral hanya sebatas “apa yang benar untuk saya” inilah yang dikatakan kesalahan relativisme moral. Kesalahan ini berakibat peserta didik gagal untuk memahami kebenaran moral yang fundamental seperti moral yang rasional, non relatif, bermanfaat, menghormati kehidupan manusisa, kebebasan, nilai yang melekat pada setiap individu, dan konsekuensi tanggung jawab untuk peduli pada orang lain juga melaksanakan kewajiban dasar. Kesalahan relativisme moral ini diperparah dengan beberapa praktisi pendidikan yang mengusung teori “kebablasan konstruktivisme” yang semuanya dikembalikan kepada pendapat siswa, siswa diberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk berfikir dan bertindak, sehingga keputusan apapun mengenai penilaian moral itu sendiri dikembalikan kepada siswanya, peran guru hanya sebatas fasilitator yang “gamang”, mengenai praktik moralitas dasar ini, Thomas Lickona berujar bahwa “jika seorang guru berfikir bahwa semua nilai itu murni personal dan relatif, dan bahwa tidak ada hak dan kewajiban yang mengikat setiap orang maka guru tersebut tidak memliki kapasitas sebagai pendidik moral” hal ini tentu menjadi isyarat bahwa seorang guru harus berperan mengarahkan siswanya untuk berbuat baik tanpa diberikan keleluasaan pilihan seperti “boleh berbuat baik boleh tidak, kalian yang menentukan” karena sejatinya Thomas Lickona berucap “siswa-siswa membutuhkan bantuan untuk mengetahui manakah yang baik dan benar untuk dirinya dan orang lain”
Ada satu kasus menarik yang dipuat dalam buku Educating for Character ini, mengenai dilema seorang sahabat yang harus menjawab pertanyaan pemilik toko tentang nama sahabatnya, saat sahabatnya tersebut kedapatan mencuri di toko itu. Jika hal ini ditanyakan kepada siswa, sebutlah siswa tersebut berada pada posisi sahabat yang ditanya itu maka bagaimana jawabannya? Mungkin ada yang berpendapat lebih baik saya tidak memberi tahu nama sahabatnya itu kepada pemilik toko karena sudah selayaknya sahabat saling membantu, toh dulu dia juga membantu saya. Atau mungkin aka nada yang berpendapat saya akan berpura-pura tiyangl mengenal siapa yang ditanyakan oleh pemilik toko itu, dan lain-lain jawaban. Nah, jawaban-jawaban ini yan selanjutnya menjadi bahan kajian tentang Tahapan Perkembangan Alasan Moral Kohlberg (Lawrence Kohlberg, peneliti psikologi pendidikan dari Harvard). Kohlberg membagi tahapan moral ini menjadi lima, tahapan pertama jika jawaban siswa hanya berorientasi pada mengindari hukuman pribadi, missal siswa mengatakan “saya akan memberi tahu nama sahabat yang mencuri itu dari pada saya terkena masalah”. Tahapan kedua, jika jawaban siswa mengarah pada balas jasa, misal, “dulu sahabat saya pernah berbuat baik pada saya maka saya sekarang harus melindunginya”, tahapan ketiga adalah saat siswa melontarkan jawaban yang mengarah pada kesetiaan interpersonal, misal “teman seperti apa yang akan mengadukan sahabatnya?”, tahapan keempat adalah jawaban yang mengarah pada memperhatikan konsekuensi bermasyarakat, seperti “bagaimana jika setiap orang melakukan kejahatan yang sama? Maka saya harus menegakkan keadilan agar tatanan masyarakat tidak hancur” dan tahapan yang tertinggi adalah jawaban yang mengarah pada menghargai setiap orang, seperti jawaban: “mencuri barang di toko itu salah bahkan ketika hanya ada satu pencuri dan satu korban. Hal tersebut melanggar hak pemilik toko sebagai manusia”.
Sehingga, sorang pendidik haruslah menginternalisasikan kepada anak didiknya mengenai pentingnya refleksi diri, seperti saat anak akan melakukan tindakan bullying coba tanamkan pertanyaan “apakah kamu mau juga diperlakukan seperti itu?” dan menyadarkan efek besar bagaimana jika seisi dunia ini melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan olehnya (anak yang membulli), inilah tes etika reversibility dan universalizability yang bisa dilakukan guru guna memberikan pelajaran refleksi moral terhadap anak didiknya. Mengkonfirmasi berkaitan dengan pemahaman moral yang lain terhadap peserta didik adalah hal penting lain yang harus dilakukan oleh guru, jika guru tersebut tidak mau dikatakan gagal sebagai guru pendidik moral.

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel