ArtikelArtikel

Kurikulum Belajar Anak di Masa Pandemi Covid-19

Keputusan BNPB yang memperpanjang masa darurat Covid-19 hingga 29 Mei 2020 akan memperpanjang masa pembelajaran anak-anak di rumah yang sudah berjalan satu bulan ini. Sayangnya hanya sedikit sekolah yang cukup siap mengubah kegiatan pembelajarannya menjadi pembelajaran mandiri di rumah. Sebagian besar hanya memberikan soal-soal pelajaran untuk dikerjakan siswa di rumah.

Orang tua tak kalah pusingnya. Mereka bingung bagaimana membuat anak-anak betah di rumah selama masa pandemi Covid-19. Kegiatan apa yang bisa dilakukan anak-anak di rumah? Bagaimana model pembelajaran yang cocok diterapkan di rumah? Bagaimana cara orang tua membantu anak-anak belajar di rumah? Pertanyaan ini makin banyak ditanyakan para orang tua.

Apa yang Akan Diajarkan?

Sebelum membahas kegiatan apa yang bisa diberikan untuk anak-anak, mari jawab pertanyaan yang lebih mendasar: apa yang mau diajarkan? Kita ingin membekali anak agar bisa sukses saat dewasa. Lalu, apa yang perlu dikuasai anak untuk bisa sukses saat dewasa?

Penulis buku Millionaire Mind, Thomas J. Stanley PhD, menemukan 100 faktor kesuksesan yang ia temukan dalam penelitiannya terhadap 1001 orang sukses di Amerika. Sepuluh faktor teratas berturut-turut adalah kejujuran, disiplin, interpersonal skill, dukungan dari pasangan hidup, bekerja lebih keras dari orang lain, mencintai apa yang dikerjakan, leadership, semangat berkompetisi, good life management, dan kemampuan menjual ide.

Ada di urutan berapakah skor IQ dan nilai akademik? Ternyata IQ menempati urutan ke-21, sekolah di sekolah favorit ranking 23, dan lulus dengan nilai terbaik ada di urutan ke-30. Sepuluh teratas diisi oleh karakter dan life skill.

Jadi, orientasi yang terlalu academic minded dalam kegiatan pembelajaran mandiri bukan hanya melelahkan, tapi tak banyak pengaruhnya untuk masa depan anak-anak kita. Masa belajar di rumah justru kesempatan langka untuk menanamkan karakter dan melatih life skill. Dan orang tua menjadi mentor utamanya.

Kurikulum Pembelajaran Mandiri

Ada 6 hal yang bisa kita jadikan sebagai kurikulum pembelajaran mandiri di rumah. Pertama, kemandirian. Ini kemampuan paling dasar yang dibutuhkan untuk masa depan anak. Melatih kemandirian bisa dilakukan dari aktivitas sehari-hari: bangun dan mandi tanpa disuruh, merapikan kamar, atau menyiapkan sendiri bahan-bahan untuk tugas sekolah. Orang tua bisa mengajak anak-anak diskusi dan membuat kesepakatan apa saja yang harus bisa dilakukan anak-anak tanpa bantuan orang tua.

Agar menarik, ajak anak-anak menuliskannya dalam kertas besar, dihias, dan ditempelkan di kamar anak. Guru juga bisa memasukkan aktivitas kemandirian ini sebagai bagian dari tugas, bukan hanya berorientasi akademik. Seminggu sekali, bisa dilakukan lomba kerapihan antar kamar dan mereka sendiri yang menentukan kriteria dan menjadi jurinya. Jangan lupa, siapkan hadiah kejutan untuk anak dengan kamar paling rapi.

Upayakan agar kegiatan ini tidak dipersepsi anak-anak sebagai beban supaya anak tidak terpaksa melakukannya. Hindari kalimat perintah dan tuntutan. Bicaralah dari sudut pandang kebutuhan dan manfaat mereka. Atau bisa ceritakan betapa bahagianya Anda jika melihat anak-anak bisa mandiri.

Kurikulum kedua adalah melatih tanggung jawab. Kalau kemandirian fokusnya melatih anak agar bisa mengerjakan sendiri apa yang menjadi tugas dan kebutuhan mereka, tanggung jawab lebih berorientasi keluar. Ajaklah anak untuk mengambil peran dalam menyelesaikan pekerjaan di rumah. Ini kegiatan penting bukan hanya untuk melatih tanggung jawab, tapi juga empati dan kerjasama.

Jelaskan pada anak pekerjaan apa saja yang ada di rumah dan tawarkan pekerjaan mana yang mau mereka ambil alih dan jadi tanggung jawab mereka. Lalu ajarkan caranya dan jelaskan kualitas kerja seperti apa yang Anda harapkan. Review pekerjaan mereka di akhir hari, puji hasil kerja mereka, dan ucapkan terima kasih.

Untuk anak yang sudah remaja, level tanggung jawab bisa ditingkatkan. Di minggu ketiga anak-anak saya belajar di rumah, saya ajak 3 anak saya diskusi. Saya jelaskan pada mereka bahwa orang tua mereka tidak selamanya bisa mendampingi. Setiap saat bisa saja Allah mewafatkan ayah dan ibu mereka. Dan saya ingin kapan pun Allah panggil, mereka sdh bisa mandiri.

Saya tawarkan mereka untuk belajar mengelola semua pekerjaan rumah. Anak pertama saya angkat menjadi kepala rumah tangga dan bertanggung jawab mengatur pembagian pekerjaan. Semua pekerjaan rumah mereka kerjakan bertiga. Kecuali memasak yang masih dibantu oleh istri saya. Tapi sehari dalam seminggu mereka yang memasak untuk konsumsi seisi rumah.

Memasak pun bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan. Bisa eksplorasi menu baru yang didapat di internet. Kegiatan ini juga mendekatkan seisi rumah. Dan betapa bangganya mereka saat menu baru yang mereka coba berhasil.

Sambil melatih tanggung jawab, sebenarnya saya sedang melatih mereka kurikulum ketiga, yaitu kemampuan berorganisasi. Untuk menyepakati pembagian tugas, mereka harus belajar berkomunikasi, berkompromi, menyelesaikan perbedaan pendapat dan perselisihan, serta mencari kesepakatan yang bisa diterima semua. Juga keributan-keributan kecil dalam pelaksanaan tugasnya. Saya biarkan si sulung menyelesaikannya sekaligus melatih leadership-nya. Saya hanya mengevaluasinya di malam hari setelah shalat isya.

Kurikulum keempat yang tidak kalah penting adalah problem solving. Melatih anak dengan problem solving akan membekali mereka untuk berani menghadapi masalah dan mampu mengatasinya. Libatkan anak dalam diskusi keluarga saat ada masalah. Biasakan diskusi untuk menyelesaikan masalah di rumah, mulai dari sekedar bagaimana mencari pedagang sayur online untuk memenuhi kebutuhan rumah, bagaimana menghemat pengeluaran belanja, atau menyepakati jadwal pemakaian gadget supaya tidak mengganggu aktivitas lainnya.

Saat terlibat dalam pemecahan masalah, anak belajar banyak hal: pentingnya menyelesaikan masalah bukan menghindarinya, pentingnya mengumpulkan informasi, bagaimana komunikasi yang baik dalam menemukan kesepakatan, bagaimana menghargai perbedaan pendapat, dan yang tak kalah penting bagaimana komitmen menjalankan hasil diskusi. Ini skill yang penting untuk masa depan mereka.

Terkait tugas sekolah yang harus mereka kerjakan, jangan mengambil alih tugas mereka. Mereka harus bertanggung jawab menyelesaikan tugasnya. Jangan berikan jawaban soal. Ajarkan caranya, dan biarkan mereka yang menyelesaikannya. Ini penting agar mereka tahu bahwa masalah harus mereka hadapi sendiri. Mereka tak boleh cengeng dan mengandalkan orang lain.

Kurikulum kelima adalah mengembangkan minat dan melatih keahlian. Jika kita melakukan work from home, kita punya lebih banyak waktu bertemu anak. Meskipun siang hari kita tetap bekerja di rumah, setidaknya kita menghemat sekian jam waktu yang biasa kita habiskan di jalan. Kita juga bisa makan bersama anak-anak di rumah.

Manfaatkanlah waktu untuk mengetahui minat anak. Gali lebih banyak, bantu mereka mendapatkan informasi lebih tentang bidang yang menjadi minat mereka. Untuk usia remaja, bisa pertemukan dengan maestro di bidang yang jadi minat anak. Kalau anak tertarik dengan desain visual, setidaknya kenalkan dengan manajer komunikasi di kantor Anda. Cukup lewat webinar dengan Zoom atau aplikasi lain.

Sebelum pandemi Covid-19, saya terkadang mengajak anak saya yang duduk di bangku SMP untuk magang menjadi asisten saya saat saya mengajar di kelas-kelas pelatihan. Sekarang saya memperlihatkan padanya modul pelatihan yang sedang saya buat, kelas-kelas pelatihan online yang saya kelola, dan mendiskusikan ide yang sedang saya tulis.

Kurikulum terakhir adalah entrepreneurship. Entrepreneurship menjadi hal penting yang perlu kita ajarkan kepada anak-anak. Mulailah dari rumah. Saat banyak orang mencari masker dan hand sanitizer, coba ajak anak bicara untuk memberinya insight peluang usaha. Kita bisa bantu carikan supplier, tawarkan dia menjualnya ke tetangga atau teman sekolah.

Sejak usia sembilan tahun, anak-anak saya sudah punya penghasilan. Sebagian besar dari berjualan di sekolah atau di tempat keramaian saat hari libur. Ada juga penghasilan yang mereka terima saat menjadi asisten saya. Anak saya yang SMP mengajar les matematika untuk anak-anak SD. Muridnya sepuluh orang. Mereka membayar Rp 15.000 setiap pertemuan.

Kurikulum life skill itu ternyata tak rumit-rumit amat. Ia melekat dalam kegiatan sehari-hari. Dan begitulah kehidupan. Dalam kesehariannya, kehidupan mengajarkan banyak hal kepada kita. Saatnya sekarang kita wariskan itu kepada anak-anak kita. Selamat mencoba.

Oleh: Fatchuri Rosidin
Direktur Inspirasi Melintas Zaman (IMZ) & Pegiat Pendidikan Aqil Baligh

 

What's your reaction?

Excited
0
Happy
0
In Love
0
Not Sure
0
Silly
0

You may also like

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

More in:Artikel